Sunday, May 5, 2013

Terapi Behavioristik


Terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini, bentuk pendekatan ini banyak di gunakan karena penekanannya pada perubahan tingkah laku dimana tingkah laku tersebut bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.

Konsep dasar teori Behavioral
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak
sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
Dalam konsep bahvioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar
dapat memecahkan masalahnya.
Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh Surya
(1988), memberi ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut:
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat
membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedurprosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling.
5. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.

Metode Konseling Behavioral
Mengenai metode konseling behavioral, Kumboltz mengkategorikan
menjadi empat pendekatan yaitu pendekatam : (1) Operant Learning, (2) Cognitive Learning, dan (3) Emotional learning.
 a. Metode Operant Learning
Dari pendekatan operant learning yang paling penting adalah penguatan (reinforcement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki. Konselor diharapkan dapat memanfaatkan situasi diluar klien untuk memperkuat perilaku klien yang dikehendaki, sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk memberikan penguatan pada klien. Dalam menerapkan penguatan ini ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) penguatan yang di terapkan hendaknya memiliki cukup kemungkinan untuk mendorong klien, (2) penguatan hendaknya dilaksanakan secara sistematis, (3) konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana memberikan penguatan, dan (4) konselor harus dapat merancang perilaku yang memerlukan penguatan.(Surya, 1988)
b. Metode Cognitif Learning
Merupakan metode pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peranan. Metode ini lebih menekankan pada aspek perubahan kognitif klien dalam upaya membentu klien dalam memecahkan masalahnya. Tujuan utama dalam metode kognitif adalah : (1) membangkitkan pikiranpikiran pasien, dialog internal atau bicara diri (self talk), dan interpretasi terhadap kehadian-kejadian yang dialami, (2) konselor bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasiinterpretasi yang telah diambil, (3) menyusun dengan eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi didalam proses perlakuan konseling. Konseling kognitif khususnya diarahkan untuk memunculkan kesalahankesalahan atau kesesatan-kesesatan didalam berpikir. Contoh kesalahan
adalah:
1. Berpikir Dikotomik. Yaitu berpikir yang serba ekstrem tanpa penilaian atau
pendapat realativistik ditengah-tengah (hitam vs putih, semuanya vs tidak
sama sekali).
2. Abstraksi selektif, pemisahan sebagian kecil dari sitausi keseluruhan
dengan mengabaikan sisa bagian yang jauh lebih besar atau penting,.
3. Inferensi arbitrer (sembarangan, tidak semena-mena), yaitu menarik
kesimpulan yang merupakan inferensi dari bukti-bukti yang tidak relevan.
4. Overgeneralisasi, yaitu menyimpulkan suatu kejadian negatif yang khusus,
sebagai kejadian negatif secara keseluruhan.
5. Catastropishing, yaitu berpikir hal yang paling buruk dalam suatu
situasi.(Retnowati, 2002)

Teknik konseling
Ada beberapa teknik konseling behavioral sebagaimana diungkapkan oleh Gerald Corey (1995) yang dapat diterapkan pada klien kecemasan antara lain:
a. Desensitisasi sistematik
Asumsi dasar yang mendasari teknik desensitisasi sistematika adalah bahwa responsi terhadap kecemasan itu dapat dipelajari atau dikondisikan, dan bisa dicegah dengan memberi subtitusi berupa suatu aktivitas yang
sifatnya memusuhinya. Stimulus yang menghasilkan kecemasan berkali-kali dilakukan dengan latihan bersantai sampai hubungan antara stimulusstimulus serta responsi terhadap kecemasan itu terhapus. Moris (1986) membuat garis besar tentang desensitisasi sistematik menjadi tiga langkah:
1. Latihan bersantai
Selama bebrapa sesi permulaan klien diberi pelajaran bagaimana caranya bersantai. Sasarannya adalah agar oto-otot menjadi kendor dan mental menjadi santai dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar bersantai, maka yang terpenting adalah klien mempraktekannya seriap hari agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
2. Pengembangan hierarki kecemasan.
Stimulus yang menyulut kecemasan pada kawasan tertentu seperti penolakan, kecemburuan, kritikan, ketidaksetujuan, atau fobia yang lain, dianalisis. Konselor menyusun daftar urutan situasi yang menyulut  timbulnya kecemasan dan penampikkan yang makin meningkat. Hierarki itu diatur dalam urutan-urutan mulai dari situasi yang terburuk yang bisa dibayangkan oleh klien sampai kesituasi yang menimbulkan kecemasan
yang paling sedikit.
3. Disentisiasi sistematik yang tepat.
Proses desentisisasi dimulai dengan klien yang telah santai dengan sempurna dengan mata tertutup. Skenario netral dikemukakan, dan klien diminta untuk membayangkannya. Apabila klien tetap santai, diminta untuk membayangkan skenario yang paling sedikit manimbulkan kecemasan dalam hirarki kecemasan yang telah dikembangkan. Konselor bergerak maju dalam hierarki sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah klien mengalami kecemasan dan pada saat itu skenario dihentikan. Kemudian pengendoran ketegangan dimulai lagi, dan klien melanjutkan naik kehierarki diatasnya. Penanganan berhenti manakala klien tetapdalam keadaan santai pada saat ia membayangkan skenario dimana dulu pernah merupakan keadaan yang paling banyak mengganggu dan menimbulkan kecemasan.
4. Metode Pemodelan
Istilah pemodelan, juga berarti belajar dengan mengamati menirukan, dan belajar sosialisasi. Permodelan adalah proses berbuat yang dilakukan oleh perilaku seseorang individu atau kelompok (model) sebagai stimulus terjadinya pikiran, sikap, dan perilaku yang serupa dipihak pengamat. Melalui proses belajar dengan mengamati klien sendiri bisa belajar untuk menunjukan perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial and eror.
5. Mengelolola diri sendiri
Watson dan Trap memberikan sebuah model yang didesain untuk perubahan yang diarahkan sendiri, yaitu ada empat tahap:
a. Penyaringan sasaran
b. Menerjemahkan sasaran menjadi perilaku yang diinginkan
c. Memantau perkembangan diri sendiri
d. Menyelesaikan rencana perubahan.
Selain keempat langkah itu ada metode penguatan diri sendiri yang sangat mendukung dalam keberhasilan proses konseling. Penggunaan penguatan untuk merubah perilaku adalah memilih pengganjaran pada diri
sendiri yang tepat, yaitu memberi motivasi secara pribadi.(Rahmat, 2000)


sumber : http://enamkonselor.files.wordpress.com/2012/05/behavioristiktherapy1.pdf

No comments:

Post a Comment